Politika - Bayangkan pagi yang panas, udara malas bergerak, dan Anda duduk di warung kopi sambil mendengar pidato Wakil Presiden tentang bonus demografi. Kata-kata seperti "potensi besar," "generasi produktif," dan "peluang emas" beterbangan seperti burung camar di langit birokrasi. Rasanya seperti deja vu, bukan? Jargon yang sudah sering kita dengar, tapi masih terasa asing di perut rakyat yang kosong.

Pidato itu mungkin akan terdengar absurd bagi Albert Camus, sang pendobrak eksistensialis. Bukan karena optimisme sang Wapres tak berdasar, tapi karena absurditasnya begitu indah. Di negeri ini, kita diajak percaya bahwa angka-angka statistik bisa menyelamatkan kita dari lubang kemiskinan, bahwa usia muda adalah tiket langsung menuju kemajuan.

Memang, bicara soal bonus demografi adalah saat jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar daripada yang non-produktif. Tapi Camus akan bertanya: Apakah hanya karena mereka muda, mereka pasti produktif? Apakah kita benar-benar sedang bicara tentang manusia, atau hanya tentang angka-angka dalam presentasi Microsoft Excel?

Di tengah pidato itu, Camus mungkin akan membayangkan Sisyphus—tokoh mitologi yang dihukum untuk mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Ia akan melihat anak-anak muda Indonesia yang mendorong batu beasiswa, batu magang, batu kerja kontrak tiga bulan, batu upah minimum yang tak naik-naik. Dan setiap kali mereka merasa sudah sampai di puncak, batu itu gugur lagi ke bawah.

Negara tetap bersikeras: ini bonus, bukan beban. Narasi ini dibangun dengan logika untung-rugi, seolah manusia adalah komoditas. Mereka yang tak mampu menyesuaikan diri dengan kurikulum "produktif" akan tersisih, jadi statistik pengangguran, atau lebih buruk: jadi bahan motivasi di seminar kewirausahaan.

Padahal, dari sudut pandang eksistensialis, manusia tidak ditakdirkan menjadi alat produksi. Mereka adalah makhluk bebas, yang menggeliat di antara absurditas harapan dan kenyataan. Bonus demografi seharusnya bukan tentang memeras potensi anak muda sampai kering, melainkan tentang memberi ruang bagi mereka untuk memilih.

Lalu siapa yang akan diuntungkan dari bonus ini? Mereka yang sudah duduk di menara gading kekuasaan. Yang punya akses ke modal, teknologi, dan kebijakan. Para pemenang lotre sosial? Sementara yang lain? Ya, mereka yang seperti Sisyphus itu.

Kita tidak menolak bonus demografi. Kita hanya menolak untuk dibohongi bahwa ia akan datang dengan sendirinya, hanya karena kita muda dan banyak. Karena jika tidak ada perubahan sistemik, yang kita panen bukanlah bonus, tapi frustrasi massal yang dikemas dalam tawa ironis di media sosial.

Pada akhirnya, bonus demografi bukan hanya soal angka. Ia menjelma sebagai kisah tentang harapan yang dibangun dari generasi yang lelah, dan kadang mulai muak. Ia adalah batu yang didorong Sisyphus ke atas bukit sambil tersenyum, bukan karena harapan, tapi karena sadar: inilah hidup.

Penulis : Tikama