Politika – Dugaan praktik pungutan liar (pungli) dan kekerasan terhadap tahanan di Rutan Polda Jawa Tengah kembali memantik sorotan publik. Aktivis kepemudaan Iksan Salang menilai, kasus ini bukan sekadar insiden, melainkan gejala dari persoalan struktural yang selama ini belum diselesaikan secara serius.

“Praktik seperti ini terus berulang karena lemahnya pengawasan dan minimnya transparansi dalam pengelolaan rutan,” ujar Iksan, Kamis (17/4/2025).

Iksan, yang juga Bendahara Badan Koordinasi HMI Jateng-DIY itu menyebut relasi kuasa antara petugas dan tahanan yang timpang kerap menciptakan ruang bagi penyalahgunaan wewenang, mulai dari pemerasan hingga kekerasan fisik dan psikis.

“Banyak tahanan tidak berani melapor karena takut mendapat perlakuan lebih buruk. Sistem pelaporan internal pun masih belum menjamin perlindungan,” lanjutnya.

Dia lantas menambahkan bahwa persoalan ini bukan hal baru. Laporan Ombudsman RI pada 2019 mencatat lebih dari 100 pengaduan masyarakat terkait pengawasan dan pelayanan di lembaga pemasyarakatan. Ini menunjukkan bahwa masalah serupa sudah lama menjadi perhatian, tetapi belum ditindaklanjuti secara sistematis.

“Ini bukan soal oknum semata. Kita bicara soal sistem yang membiarkan ruang gelap tetap ada dalam proses penegakan hukum,” tegas Iksan.

Dia mendorong aparat penegak hukum, khususnya kepolisian, untuk membuka diri terhadap evaluasi menyeluruh, termasuk pelibatan lembaga pengawas eksternal dalam pengawasan rumah tahanan.

“Rutan tidak boleh jadi wilayah tanpa pengawasan publik. Sudah waktunya ada reformasi tata kelola yang menjamin akuntabilitas dan perlindungan hak tahanan,” pungkasnya.

Sebelumnya, viral video pengakuan eks tahanan Rutan Polda Jateng yang mengaku dipungut uang Rp1–2 juta untuk mendapatkan kamar khusus, serta mengalami intimidasi dan kekerasan fisik. Polda Jateng telah memeriksa sejumlah petugas dan menyatakan akan menindak tegas jika terbukti terjadi pelanggaran.

Sebelumnya, Polda Jateng mengungkap praktik pungutan liar (pungli) yang terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti. Tiga oknum polisi, yaitu Aiptu P, Bripka W, dan Bripka SU yang bertugas sebagai petugas jaga tahanan, telah ditetapkan sebagai terduga pelaku dan kini menjalani proses sidang disiplin serta penahanan khusus.

Praktik pungli ini berlangsung selama satu tahun dengan modus seperti pemindahan kamar sesuai keinginan tahanan dan penyewaan handphone untuk keperluan pribadi. Hasil pungli digunakan untuk kepentingan pribadi para oknum tersebut.

Kasus ini mencuat setelah pengakuan mantan tahanan melalui media sosial yang menyatakan adanya biaya wajib bagi fasilitas tertentu dalam rutan seperti pindah kamar hingga izin keluar sel pada jam tertentu.***